KUAS TAK BERTINTA ------ Let's Think and Do It

Senin, 30 November 2020

Opinion: Falling Apart

 Hai...

Sorry not sorry saya selalu kembali mengisi blog ini dengan opini. Opini pribadi, tanpa data, murni perasaan.

Beberapa bulan belakangan, saya mencoba keluar dari zona nyaman. Berusaha menjadi anak super sosial, berusaha keras menjalin komunikasi sebanyak mungkin dengan siapapun, dan mulai menyadari macam-macam emosi yang ada di sekitar saya. Ada banyak kehidupan lain yang menarik selain hidup saya sendiri rupanya. Hahaha, hidup dalam kepala sendiri terkadang membosankan dan saya pikir tamasya ke zona luar cukup menyenangkan.

Saya bermain peran. Mencoba mereverse kepribadian. Saya mencoba menjadi ekstrovert, begitu terbuka terhadap beberapa hal. Kaget dengan sensasi lega sesaat sebelum akhirnya mulai menyesal menceritakan beberapa hal pribadi (yang walau sebenarnya bukan tergolong privasi bagi saya. Tenang saja, saya paham batasannya) pada orang lain. Mencoba lebih mengobservasi dunia luar, menyikapi sesuatu dengan spontan, walau tetap ada sedikit planning. Yang terpenting, saya mencoba bereksperimen dengan perasaan... mencoba merasakan perasaan orang normal. Menyenangkan, tapi melelahkan.

Saya tak menyangka bahwa...

Menyadari akan adanya berbagai emosi dalam diri itu ternyata.... sangat aneh dan terasa asing bagi diri saya.

Tenang saja, saya bukan orang dengan bipolar. Saya sadar sepenuhnya ketika memutuskan untuk berada dalam fase A, B, C, dan seterusnya. Mungkin saya harus mendeskripsikan diri sebagai normal yang abnormal? 

Entahlah. Semakin hari saya mencoba fokus menjalani hidup dengan berpikir sederhana, semakin saya terjebak dalam keinginan untuk memahami diri sendiri lebih dalam. Berputar-putar mencari arti dari setiap emosi yang dirasa, lalu mencoba mengklasifikasi setiap wujud emosi itu dalam kelompoknya. Yang pada akhirnya... saya pun tak yakin apakah mereka tersortir dengan baik, atau malah semakin bercampur membentuk emosi lain yang saya tidak pahami.

Saya yang membenci rasionalisasi diri para pencari filosofi, sekarang malah sok-sokkan berpikir seperti mereka. Walau dalam sistem berpikir yang sangat berbeda. Lucu.

Katanya, setiap orang memiliki kecenderungan dalam menilai sesuatu. Kau yang menentukan untuk bersikap baik, akan menjalani hidup dengan menjunjung norma. Namun, terkadang kau akan merasa tak nyaman, norma membuatmu jengah. Ada ego yang kau bawa dalam dirimu, berbuat jahat sesekali tampaknya tak masalah, kan? Asal bisa ditoleransi... menurut kita.

Katanya manusia itu begitu kompleks. Mereka malaikat dan iblis dalam satu tubuh. Mereka punya roh tapi mereka juga mewujud bagai benda. Mereka adalah nahkoda yang memiliki nafsu untuk kapal mereka sendiri. Berbuatlah sesukamu, dan kau akan mendapat balasannya.

Ah... Kalau saja saya kembali ke masa di mana agama belum dipelajari, apa yang akan terjadi dengan otak saya, ya? Hahahaha...

Saya selalu heran. Bagaimana orang bisa dengan mudahnya menilai sikap dan isi perasaan orang lain. "hey, kau jahat.", "kau tidak normal", "ini semua demi kebaikan mereka", "kenapa dia malah melakukan hal seperti itu?"

Pada akhirnya, bukankah semua yang kita rasakan ini hanyalah interpretasi? Hasil yang penuh ilusi.

Kau dengan pola pikirmu yang seperti itu, menginterpretasikan dunia dalam sudut pandangmu. Menilai baik buruk suatu hal dengan caramu. Jika kebetulan interpretasimu mayor, apa hal itu membuat interpretasimu menjadi benar?

Bagaimana caranya? Mengapa kalian dengan mudah mengklasifikasi seluruh emosi sementara saya bahkan sangat bingung tak menyadari kapan emosi itu mulai muncul dan bagaimana membedakannya satu dengan yang lain?

Ketika saya coba mengikuti naluri, kalian mengatakan bahwa saya tak layak. Ketika saya mengontrol diri, kalian bilang bahwa saya penuh kepalsuan.

Saya selalu berusaha mengejar. Selalu berusaha mengamati seluruh emosi dan sifat orang-orang sekitar. Mengamati orang yang kalian bilang memiliki sifat baik, mengamati orang yang kalian bilang memiliki sifat buruk. Lalu mencoba untuk mengimitasi, memilih mana yang cocok dengan saya. Berharap dapat membentuk manual kepribadian diri sendiri.

Pada akhirnya semua sama saja... saya ya saya.

Saya tak peduli jika kalian menganut paham kebaikan ataupun menoleransi kejahatan. Bagi saya, semuanya sama saja.

Ikuti saja aturan main yang diajarkan. Jika terkadang terlalu berat dan kau merasa harus sedikit istirahat, itu urusanmu dengan Tuhan. Begitu juga saya.

Rasanya jadi hakim bagi diri sendiri sudah lebih dari cukup daripada harus menambah beban hidup dengan menimbang-nimbang perilaku orang lain.

Selama tidak merusak diri sendiri ataupun merugikan orang lain, ya itu urusan masing-masing.

.

Saya pikir cukup rasanya bermain-main dengan kepribadian sendiri beberapa bulan belakangan ini. Saya butuh istirahat dan kembali ke kepribadian asli kembali. Yah, walau setidaknya ada beberapa sifat baru yang mungkin bisa saya ambil untuk disubstitusi terhadap kepribadian lama saya yang saya pikir kurang menguntungkan.

Mohon maaf untuk tidak meminta maaf (lagi) jika tulisan saya hari ini sangat twisted. Jangan terlalu dipikirkan, ini hanya opini bebas tanpa makna. Senang bisa menuang ide abstrak di sini.

Terima kasih sudah bersedia membaca tanpa men-judge sudut pandang saya.

0 comments:

Posting Komentar

Berpikir untuk meninggalkan pesan/review? :)))