Aku selalu berusaha keras belajar memahami jalan pikiranku sendiri. Selalu berusaha berdamai untuk menyelesaikan kontradiksi yang bergelut dalam diri.
Bergerak pada satu garis lurus namun tetap waspada, takut jika hal-hal sekitar merusak garisku. Begitulah caraku menjalani hidup.
Otak manusia itu aneh. Cara kerja otak membuat manusia ada di puncak tertinggi rantai makanan, menjadi spesies paling manipulatif di bumi. Otak dengan segala kehebatannya, membuat manusia menyikut sana-sini bahkan dengan sesama. Otak yang penuh kontrol, mulai dari tingkat terendah berupa naluri penuh hasrat hingga fungsi luhur tertinggi. Otak yang berharga, merekam seluruh memori menciptakan rasa maupun asa. Otak yang inovatif dan kreatif, mampu melihat pola dan menerapkannya melalui daya cipta.
Ironisnya, fungsi daya cipta yang disebutkan terakhir menyebabkan sang organ adikuasa memiliki sisi rapuh, sangat mungkin menjadi boomerang bagi pemakainya. Otak kuat, namun dia lemah. Otak dengan segala kerentanan dalam dirinya. Ketika kau berhasil menemukan titik terlemah itu dan menyerangnya, jiwa si pemakai organ tersebut akan mati perlahan dengan sendiri bersama dengan kelayuan fisiknya.
Homeostasis otak sebenarnya sama dengan organ lainnya. Otak berusaha mempertahankan kehebatannya hingga ambang tertentu sebelum memilih cara lain, terlalu keras berusaha hingga merusak dirinya sendiri dengan perlahan. Menciptakan imajinasi di luar batas wajar. Sudah kubilang, ironis, bukan?
Hai, ini aku. Aku dengan segala eksistensi yang nyata. Namun, caraku menerima dan merespons dunia memakai cara tidak biasa.
Benar, aku adalah bagian dari spesies manusia, pemakai organ aneh itu.
Rasanya aneh ketika aku sadar penuh akan ketidakstabilan ini, berusaha untuk keluar dari lingkaran setan yang sangat kusadari, namun aku merasa gagal. Lepas, kembali, lepas, kembali. Tunggu dulu, apakah ini adalah siklus yang benar?
Aku selalu melakukan healing dengan cara meningkatkan sudut pandang toleransi tingkat tinggi akan segala hal. Aku yang mencampurkan hitam dan putih. Mencoba memandang dunia penuh dengan keabu-abuan. Aku yang menoleransi perbedaan sudut pandang, selalu mencari nilai positif dari kumpulan nilai negatif walau hanya setitik kecil, begitu juga sebaliknya. Aku yang fokus menatap titik kecil yin daripada besarnya yang dan menatap titik kecil yang di antara luasnya yin.
Aku yang selalu berusaha untuk menjaga cara berpikir tetap netral.
Homeostasis yang toksik kah ini?
Aku yang seperti ini, apakah ini cara menjadi normal yang... benar atau salah?
Aku yang seperti ini, selalu bertanya pada sekitar 'sudah tepatkah caraku bersikap?'
Aku yang seperti ini, tidak mengerti bagaimana seharusnya melihat batas-batas setiap fungsi dari otak yang kumiliki.
Dulu aku selalu penasaran apakah ada suatu masa di mana diriku merasa lega dan sesal di saat yang sama?
Aku selalu bersyukur kepada Tuhan karena memberiku tingkat kesadaran yang cukup baik. Hingga aku menyadari bahwa selama ini aku sudah berada dalam situasi tersebut.
Aku lega diberikan kesadaran untuk menyadari banyak hal yang ada dalam diri maupun sekitar.
Namun aku selalu merasa menyesal pada diri sendiri karena menyadari tidak pernah bisa keluar dari keanehan ini.
Akankah ke depannya judul yang kuanut ini akan selalu bertahan sama?
Aku yang lega untuk menyesal...
atau aku yang menyesal karena kelegaan itu sendiri.
0 comments:
Posting Komentar
Berpikir untuk meninggalkan pesan/review? :)))