KUAS TAK BERTINTA ------ Let's Think and Do It

Kamis, 21 Januari 2021

Opinion: Stuck in The Paradox of Morality


When we were young and still in love
We didn't care what we were made of
Our eyes were set on a distant sun
It was shimmering gold
Then slowly one by one
We carried our past and cradled the storm
We tried to conceal the scars we wore
'Cause we couldn't show what we couldn't show
Space - Biffy Clyro
Seperti yang saya bilang dalam postingan sebelumnya mengenai Master Plan tahun 2021 ini, Saya akan berusaha sekeras berlian, bergerak secepat cahaya, dan mengalir sefleksibel air terhadap takdir.
Bulan Januari bahkan belum habis dan bisa-bisanya otak ini sudah mulai overthinking lagi. Hahaha...
Kali ini apa overthinkingnya? 
Masuk ke 2021... "Stuck in The Paradox of Morality"
Semakin bertambah usia, judul-judul tulisan yang saya buat entah kenapa malah jadi semakin aneh hahaha. Sulit sekali untuk berpikir sederhana. Pikiran dalam diri rasanya seperti selalu memaksa mengajak berdiskusi. Sibuk mempertanyakan segala hal dan menagih jawaban pada diri sendiri. Untungnya, overthinking yang sekarang tidak setoksik dulu karena diimbangi dengan saya yang terus belajar dealing terhadap emosi dan tidak sekadar dipendam sendiri.
Tapi tetap saja, pikiran yang berlebihan ini perlu diperjelas strukturnya. Jika sulit untuk dilenyapkan, setidaknya dikontrol supaya bisa dimanipulasi, kan? Seperti api yang membakar segala, ketika dia takhluk dalam kuasa manusia, begitu banyak manfaatnya.
Aneh, tapi saya yang sekarang mulai merasa nyaman dan menganggap overthinking adalah hal yang bermanfaat. Menyenangkan ketika overthinking bisa membawa saya ke banyak hal. Saya memang overthinking, tapi saya tidak hanya diam struggle dalam pikiran. Saya overthinking, namun saya tak segan untuk mencari dan mencoba segala hal demi menemukan validitas terhadap statement overthinking saya.
Tak jarang saya pun berusaha menerka-nerka penyebab munculnya overthinking dalam diri ini.
Paradox...
Beberapa waktu belakangan, saya baru menyadari bahwa sesungguhnya selama ini saya selalu berpikir dengan dua warna. I think, then I feel it.
Saya tahu bahwa saya tidak serasional yang terlihat, namun saya sadar bahwa saya juga tidak cukup untuk dikatakan sebagai si baik hati yang tulus berempati.
Saya terjebak dalam paradox pikiran sendiri.
Setiap mencoba menyelesaikan satu masalah, otak saya langsung otomatis menyusun list prioritas, menilai untung rugi, mencari cara paling efektif dan efisien. Lalu, ketika selanjutnya memposisikan diri dalam sudut pandang empati yang penuh emosi, di sana saya merasa terjebak. Tidak berlarut-larut memang, karena saya tipe yang selalu merasa harus memutuskan sesuatu. Benar atau salah, hitam atau putih, baik atau buruk. Saya akan memilih mana satu terbaik untuk mencapai tujuan namun tetap berusaha bergerak dalam koridor moralitas.
Saya bisa menghalau emosi diri dengan mudah di awal, namun ternyata tetap menenteng residunya seiring menyambut masa depan. Saya pikir saya bodoamat dengan perasaan. Ternyata saya bodoh sangat, tidak sadar selalu memikirkannya.
Saya bisa dengan tegas memutuskan ikatan pertemanan yang sudah terjalin lama jika orang tersebut membawa pengaruh buruk bagi saya. Berat memang, karena begitu banyak memori yang kami bagi. Namun saya akan tetap melakukannya. Menyakitkan memang, tapi jika tidak diputus akan semakin menyulitkan hidup saya.
Saya selalu berpikir bahwa usaha untuk menyenangkan hati orang lain itu bodoh. Tapi saya sendiri selalu berusaha untuk fit in dalam lingkungan sosial, menahan keabsurd-an diri. Berkamuflase mengikuti topik pembicaraan mereka, dan hanya diam ketika benci dengan topiknya. Karena bagi saya, hal itu dilakukan sebagai mekanisme pertahanan diri. Jika kau tidak cocok dengan lingkungan, banyak masalah yang akan mendatangimu. Akan lebih merepotkan untuk menyelesaikannya daripada berkamuflase, kan? Lagipula... terlibat dalam hal sosial terkadang cukup menarik juga.
Saya juga benci kejutan. Terutama jika orang terdekat yang melakukannya. Saya benci karena tidak yakin harus meresponsnya bagaimana. Saya tidak bisa bertingkah surprised seperti kebanyakan orang karena saya selalu berhasil memprediksinya duluan. Saya juga benci jika harus berakting surprised untuk menyenangkan hati orang lain. Paradox ketika kau benci harus berpura-pura dalam memberi pleasure, namun kau juga benci dan menyalahkan diri sendiri melihat orang terdekat tidak kau apresiasi.
Terkadang saya bisa sangat menoleransi hal-hal bodoh yang penuh emosi di dalamnya, tak jarang juga saya begitu sensitif dan merasa frustasi jika melihat orang lain terlalu membawa perasaannya.
Di awal mengenal saya, kelompok A mengatakan saya orang yang ramah sementara kelompok B mengatakan saya pendiam dan sulit didekati. Seiring waktu ternyata kelompok B menyadari saya tidak sedingin itu dan kaget akan sisi toleransi tingkat tinggi yang saya miliki. Sebaliknya, kelompok A malah merasa takut karena sadar bahwa saya ternyata memiliki sisi sarkastik tingkat dewa.
Keramahan saya memiliki mata pisau penuh sarkasme dan kedinginan saya memiliki mata netral penuh toleransi dalam menilai orang lain.
Beberapa mengatakan saya yang to the point mengutarakan isi pikiran sangat jahat dan menakutkan karena seringkali tepat sasaran. Saya sendiri sadar sepenuhnya apa yang sedang saya katakan dan tidak masalah jika mereka membenci saya yang begitu. Yang lain mengatakan sikap to the point saya adalah kejujuran yang penuh ketulusan.
Mereka melihat sisi pendiam saya sebagai ketidakpedulian yang menyebalkan. Di sisi lain ada yang menyadari bahwa saya diam karena saya tidak tahu harus berbuat apa dan enggan menyakiti jika salah melangkah. Saya diam namun saya peduli dan mengamati.
Saya merasa menjadi kaku dan stick in to the plan terlalu ekstrem adalah hal yang tidak bermoral. Ada rasa tidak nyaman yang aneh ketika harus mengenyampingkan perasaan. Perasaan itu ada dalam diri saya, hanya saja... masalah akan semakin rumit jika terbawa terlalu jauh dalam perasaan. Namun ketika saya memutuskan dengan menyingkirkan perasaan, saya merasa bersalah.
Saya juga merasa terlalu fleksibel dan emosional adalah hal yang buruk. Emosi adalah hal sesaat yang bisa berubah di waktu berikut dan kembali lagi di waktu yang lain. Saya pikir salah ketika memutuskan sesuatu hanya sekadar memakai hati. Saya juga merasa tak bermoral jika keputusan diambil hanya demi kenyamanan suasana hati diri sendiri tanpa memikirkan kerugiannya.
Jadi moral itu sendiri sebenarnya ada di mana, thinking or feeling?
Mengapa ketika saya memutuskan untuk berdiri di salah satu thinking atau feeling itu, saya tetap merasa tidak cukup bermoral? Seperti ada keputusan yang belum diputuskan.
Sekali lagi, inilah paradox of morality saya.
Inilah sumber overthinking saya.
Yang saya coba pahami sekarang adalah, tidak apa-apa jika ternyata keputusan yang kau ambil bukanlah yang terbaik. Semua jalan yang kau ambil memang sudah begitu seharusnya. Kau memang tidak memilih yang terbaik, tapi kau memilih yang tepat. Tepat untuk takdirmu dan orang lain.
Saya pikir Tuhan memberikan akal dan emosi dalam diri manusia bersamaan bukan tanpa alasan. Tidak ada yang harus diredam dan tidak ada juga salah satu yang harus utuh dijunjung tinggi. Kita manusia harus bisa menakarnya. Akal dan emosi hanyalah instrumen berpikir.
Bagi saya, moral adalah konfliknya di sini.
Entah ke mana pikiran ini akan membawa saya selama tahun 2021. Entah definisi moral seperti apa yang akan saya rumuskan ke depannya.
Mari nikmati kestruggle-an terjebak dalam paradox moral ini.
Ketidakpahaman adalah tanda bahwa kita belajar.
Pelan-pelan saja.

0 comments:

Posting Komentar

Berpikir untuk meninggalkan pesan/review? :)))